Gempuran “Ustadzah Ficky” di Desa Genting

Hidayatullah.com—Hari itu, rombongan relawan Bulan Bintang Surakarta bergerak menuju lokasi bencana Merapi. Pagi itu, Sabtu, 20 November 2010para relawan berencana mengawal pendistribusian bantuan untuk pengungsi Merapi dari sebuah klub otomotif Surakarta. Lokasi terakhir adalah sebuah Posko di dukuh Sidorejo Desa Genting Kecamatan Cepogo Boyolali. Posko itu ternyata sebuah gereja yang berukuran cukup besar, berdiri disamping sebuah musholla yang berukuran seper enamnya. Di Dukuh Sidorejo ini dari 87 Kepala Keluarga (KK), hanya ada 7 (tujuh) KK yang beragama Kristen. Saat itu, ratusan pengungsi tengah berkumpul di gereja itu dalam sebuah acara yang tak lazim, yakni Pengajian.

Ngaji Aneh

Para pengungsi yang mengikuti pengajian di gereja itu adalah mereka yang sebelumnya tersebar di beberapa gereja di wilayah sekitar Cepogo. Karena kondisi sudah aman, maka para pengungsi tersebut sudah diperkenankan pulang. Sebelum pulang, mereka dikumpulkan di gereja tersebut, yang merupakan posko induk untuk acara pembubaran sekaligus diisi pengajian untuk closing ceremony nya.

Penyampainya adalah “ustadzah Ficky Paranidhita”, diakui “muslimah” yang berjilbab lebar dan katanya berasal dari Bandung. Menurut salah satu narasumber, “ustadzah Ficky” ini, sudah beberapa kali mengisi pengajian pada para pengungsi yang menempati gereja-gereja di sekitar Cepogo.

“Yang membawa ke sini sepertinya Pak Yanu, pendeta dari Gereja Winong”, tutur mas Supriyadi, seorang warga setempat.

Tidak hanya mengisi pengajian, masih menurut mas Supriyadi, “sang ustadzah Ficky” kadang menjanjikan kalau ada kegiatan kepemudaan yang butuh bantuan, ia akan dengan senang hati membantu. Hanya saja yang ganjil, kata warga bernama Taufik Ahmadi, setelah kedatangan relawan Bulan Bintang, ustadzah Ficky sepertinya agak kagok (kurang enak, red). Selain itu bacaan al-Qur’annya juga tidak fasih, bahkan ketika membacakan surat-surat pendek seperti al-Ikhlas.

Sayang, para relawan dari Bulan Bintang tidak bisa menangkap utuh isi pengajian tersebut. Maklum, rombongan relawan ini datang, ‘pengajian’ sudah memasuki kalimat penutup.

Usai pengajian, “ustadzah Ficky” terlihat berbincang dengan sangat akrab dengan para pengurus gereja dan setelah itu, ia mengaku akan melanjutkan perjalanan mengisi pengajian di gereja lain dengan diantar para pengurus gereja.

Sepeninggal “ustadzah Ficky”, warga diminta untuk menerima pembagian amplop berisi uang sebagai tali asih.

Namun menurut Dasiyo, takmir musholla di Dukuh Sidorejo, Genting Cepogo Boyolali, di samping gereja yang juga memantau acara tersebut, dia tidak terlalu memperhatikan isi dari pengajian itu. Yang ia bingungkan adalah sosok yang bernama Pak Purnomo, yang juga hadir bersama panitia pengajian tersebut.

Dalam pengakuannya Pak Purnomo seorang Muslim, tapi penjelasannya malah bikin bingung warga. Sebab katanya Nabi Isa itu Ruhullah, dan itu terdapat juga dalam al-Qur’an. Orang-orang Kristen itu Tuhannya juga Allah. Jadi pada dasarnya tidak berbeda, kata Pak Purnomo suatu hari ditirukan Dasiyo.

Meski bingung, mas Dasiyo tidak bisa menjawab, sebab menurutnya, dia juga sangat awam soal agama.

Islam dan Kristen di Sidorejo

Di tahun 1970-an, meskipun seluruh warga Sidorejo adalah Muslim, namun karena letaknya yang cukup terpencil, mereka belum mempunyai pengetahuan yang memadai tentang agama Islam. Saat itu, dalam satu dukuh, yang bisa mengerjakan sholat hanya satu, yakni ayah dari Mas Dasiyo. Islam baru dikenal sebagai pelengkap dalam ritual sunatan, perkawinan, kematian dan selamatan. Dalam wujud do’a yang juga belum dimengerti masyarakatnya.Walhasil, dakwah belum menyentuh daerah tersebut.

Seiring berjalannya waktu, beberapa warga mulai mempelajari tata ibadah dalam Islam. Sampai akhirnya ayah Mas Dasiyo mendirikan musholla kecil dari kayu untuk tempat ibadah warga.

Sementara itu, Kristen mulai masuk dukuh Sidorejo di tahun 1980-an, waktu itu Bapak Nitirejo, salah seorang pegiat seni karawitan di desa itu masuk Kristen. Motif perpindahan agama ini tidak jelas, namun ditengarai karena masalah kesehatan. Sebab saat itu pihak Kristen sering mengadakan kegiatan pengobatan gratis untuk masyarakat. Namun perkembangan selanjutnya, mas Dasiyo tidak mengerti perkembangannya, sebab beserta seluruh anggota keluarganya transmigrasi di Kalimantan. Namun, keluarganya hanya bertahan 5 tahun di Kalimantan dan akhirnya memutuskan untuk pulang kembali ke Sidorejo.

Saat pulang itulah ia menyadari, sudah ada 2 Kepala Keluarga yang masuk Kristen. Meski lambat, namun jumlah pemeluk Kristen terus berkembang, di tahun 1989 tercatat sudah ada 5 KK.

Tahun 1990-an menurutnya, kegiatan missi mulai agresif, tidak hanya melalui kegiatan pengobatan gratis tapi juga dengan system door to door. Berkunjung dan bertamu ke rumah warga Muslim dan mengajak untuk masuk Kristen.

Bukan hanya ajakan, bantuan beruapa mie instan, beras sampai kebutuhan sehari-hari juga ditawarkan bila mereka mau masuk Kristen. Masyarakat sendiri bahkan mengaku kaget ketika tiba-tiba saja rumah salah seorang warga yang kebetulan bersebelahan dengan musholla berubah menjadi Gereja.

Masyarakat di sekitar pendirian gereja tidak menyangka bahwa kertas kosong yang mereka tanda-tangani selama ini ternyata diisi ijin dari masyarakat sekitar untuk pembangunan gereja. Awalnya berupa bangunan kecil, namun setelah ada bantuan dari Korea, gereja tersebut dibangun menjadi megah. Kontras dengan musholla sebelahnya yang berukuran kecil.

Beberapa warga yang merasa risih dan resah dengan kegiatan missi door to door ini akhirnya berembug dengan para pemuda.

Para pemuda, sebagaimana diakui Dasiyo dan Supriyadi mendatangi pemuka Kristen dan meminta mereka untuk menghentikan kegiatan door to door yang telah meresahkan warga itu.

Namun nampaknya suasana sempat memanas. Meski akhirnya pihak Kristen menghentikan missi Kristen secara door to door.

Menurut seorang warga, meski kegiatan door to door berhenti, pelayanan kesehatan masih dilakukan meski dengan frekuensi yang menurun. Pelayanan kesehatan ini, bahkan didukung sebuah yayasan Kristen yang bepusat di Korea.

Untuk mengimbangi kebanggaan sebagai pemeluk Islam, akhirnya beberapa penggerak keislam di desa tersebut berusaha keras merampungkan pembangunan masjid di dukuh sebelah yang sudah terbengkalai. Meski lambat, akhirnya masjid itu bisa diselesaikan pembangunannya, sehingga bisa digunakan untuk sholat Jum’at warga kampung. Ketika pertama kali digunakan untuk Jum’atan, tidak banyak yang ikut, sebab mayoritas warga memang belum bisa sholat.

Jama’ah Tahlil Selapanan

Prihatin dengan kondisi warga yang masih sangat awam keislamannya, Dasiyo beserta beberapa pegiat masjid mendirikan pengajian tahlil setiap selapanan, yakni tiap 35 hari sekali pada malam Jum’at Pon. Dalam pengajian itu, selain dibacakan ayat-ayat al-Qur’an yang sudah popular di kalangan warga, juga diselingi ceramah dan arisan Halal bil Halal. Arisan halal bil halal yang dilakukan sehingga peringatan Iedul Fitri bisa dilaksanakan dengan meriah ternyata member efek positif pada warga yakni meningkatkan kebanggaannya sebagai muslim. Kegiatan ini ternyata menarik minat masyarakat, mereka yang belum shalat pun, mau mengikuti acara ini. Dan secara perlahan jumlah warga yang melakukan shalat jum’at dan shalat jama’ah mengalami peningkatan.

Salah satu contohnya adalah orangtua dari Supriyadi. Awalnya, ayah Supriyadi sudah tertarik dengan agama Kristen. Karena intensnya pendekatan dari pihak Kristen, saat itu ayah Supriyadi sudah meminta ijin pada anak-anaknya untuk masuk Kristen. Masalah ini sempat menjadi ketegangan keluarganya, terutama Supriyadi yang merupakan aktifis masjid. Namun setelah diskusi panjang, akhirnya ayah mas Supriyadi mengurungkan niatnya masuk Kristen. Kemudian beliau ikut aktif, di pengajian tahlil tersebut, belajar tata cara sholat dan sekarang justru menjadi warga musholla yang paling aktif sholat berjama’ah.

Demikian juga dengan istrinya, yang sangat awam. Kata mas Supriyadi, awalnya, sang ibu, mengucapkan lafal Allah saja tidak bisa, kalau tidak “Alah” ya “Aloh”. Namun karena ketekunannya mengikuti pengajian, akhirnya perlahan bisa. Awalnya kalau sholat, sang ibu hanya membaca bismillahir rohman nir rohim, karena hanya itu yang beliau bisa. Baru tiga bulan terakhir ini, sang ibu sudah bisa hafal Al Fatikhah dan bacaan shalat.

Atas kesabaran luarbiasa para pemuda masjid, lebih dari separoh penduduk dukuh tersebut kini sudah kembali menjalankan shalat lima waktu, sementara yang lainnya meskipun belum shalat tapi masih rutin belajar agama melalui pengajian selapanan. Beberapa waktu lalu bahkan sempat diselenggarakan Taman Pendidikan Al-Qur’an untuk anak-anak. Namun belakangan ini tersendat karena ketiadaan sumber daya manusia yang memadai. Ketua RT yang selama ini menjadi motor TPA cukup padat kegiatannya.

Masa Depan Dakwah di Sidorejo

Meskipun ada dakwah di Sidorejo masih berlangsung, namun aktifismenya perlu ditingkatkan. Sebab baik SDM maupun bentuk kegiatannya masih sangat terbatas. Hal ini bisa dilihat dari kegiatan TPA yang terhenti dan fasilitas ibadah yang sangat sederhana. Luas lahan stagnan juga menyebabkan generasi mudanya harus mencari alternatif pekerjaan di luar sektor pertaninan. Keterbatasan-keterbatasan ini merupakan titik rawan dakwah yang bila tidak segera diatasi akan menjadi problem serius di kemudian hari.

Problem tersebut tentu tidak lepas dari aktifisme gereja yang mendapat dukungan dana besar dari kelompok misionaris asing. Meski jumlah penduduk Kristen sampai saat ini tidak bertambah, dan kegiatan missi door to door telah dihentikan, tapi aktfisme gereja diakui masyarakat terus meningkat. Kegiatan pelayanan kesehatan gratis untuk masyarakat tetap dilaksanakan setiap tiga bulan sekali. Kebaktian juga dikemas kreatif guna menutupi kesan sepi penganut. Misalnya, para jama’ah gereja dari wilayah lain dihadirkan beramai-ramai. Sistemnya dibuat bergiliran. Minggu pertama di desa Sidorejo, minggu berikutnya di Nggebyok, terus ke Sepandan dan desa-desa lain.

“Jadi ketika kebaktian kelihatan meriah karena dihadiri oleh banyak orang,” ujar seorang warga.

Selain itu pihak gereja juga mempersilahkan pemuda yang ingin belajar musik, sebab di dalam gereja ada seperangkat peralatan musik.

Baik mas Dasiyo maupun Supriyadi berharap, untuk peningkatan kualitas dakwah di desanya, ia berharap ada pemberdayakan kader di desanya. Sebab menurutnya, masyarakat setempat lah yang lebih tahu kondisi medan dakwah di desanya. “Sebab masyarakat Sidorejo masih sangat awam dalam agama, kalau dipaksa-paksa dan diburu untuk bisa mereka malah tidak mau, “ ujar Supriyadi.

Supriyadi mengharapkan beberapa kader dakwah dari Sidorejo dididik di pesantren ataupun di lembaga agama Islam lainnya, setelah selesai mereka kembali ke Sidorejo, maka masyasrakat akan lebih mudah menerima.

Ia juga berharap ada pelatihan kemampuan (skill) dan pengetahuan yang bisa menciptakan lapangan para pemuda di kampungnya. Ini diharapkan karena tawaran untuk bantuan kegiatan pemuda sudah ditawarkan pihak gereja melalui “ustadzah Ficky”. Menurut Mas Dasiyo, alangkah baiknya jika bantuan dana maupun pelatihan itu nanti dipusatkan melalui masjid, sehingga bisa mendekatkan mereka yang belum sholat untuk mendekat ke masjid. Dan tentu saja pembangunan tempat ibadah yang memadai juga sangat dibutuhkan, sebab bagaimanapun juga, bila bangunan musholla maupun masjid-nya bisa hidup, kepercayaan diri masyarakat Muslim akan bertambah. Dan tentu saja, "gempuran" idiologi lain akan bisa dihindari. Nah, siapa mau mewujudkan harapan mereka? [arif/hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar